Pengertian Agama, Golongan Masyarakat, dan Fungsi Agama
Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu jenis system
social yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada
kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayai dan didayagunakan untuk mencapai
keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umumnya. Dalam kamus sosiologi,
pengertian agama ada tiga macam, yaitu (1) kepercayaan pada hal-hal yang
spiritual; (2) perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang
dianggap sebagai tujuan tersendiri; (3) ideology mengenai hal-hal yang bersifat
supranatural. Sementara itu, Thomas F.O’Dea mengatakan bahwa agama adalah
pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non-empiris atau
supra-empiris.
E..B. Tylor dalam buku perintisnya, primitive culture, yang
diterbitkan pada tahun 1871. Dia mendefinisikan agama sebagai “ kepercayaan
terhadap adanya wujud-wujud spiritual”, definisi dari tylor itu dikritik lebih
jauh karena tampaknya definisi itu berimplikasi bahwa sasaran sikap keagamaan
selalu berupa wujud personal, padahal bukti antropologik yang semakin banyak
jumlahnya menunjukan bahwa wujud spiritual pun sering dipahami sebagai kekuatan
impersonal.
Selanjutnya, golongan masyarakat dapat diartikan sebagai
penggolongan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu kelompok yang mempunyai
karakteristik yang sama atau sejenis. Dalam kamus sosiologi dinyatakan sebagai
kategori orang-orang tertentu, dalam suatu masyarakat yang didasarkan pada ciri
- ciri mental tertentu.
Berdasarkan definisi di atas, penggolongan masyarakat dapat
dibuat berdasarkan cirri yang sama. Misalnya, (1) penggolongan berdasarkan
jenis kelamin adalah pria dan wanita; (2) penggolongan berdasarkan usia adalah
tua dan muda; (3) penggolongan berdasarkan pendidikan adalah cendekia dan buta
huruf; (4) penggolongan berdasarkan pekerjaan adalah petani, nelayan, golongan
buruh, pengrajin, pegawai negeri, eksekutif, dan lain-lain. Menurut
Hendropuspito, meskipun tidak dapat dibuat berdasarkan kedudukan social yang
sama, seperti pada lapisan social, penggolongan ini pada dasarnya untuk kepentingan
pengamat social dalam penelitian-penelitian terhadap masyarakat.
Adapun yang dimaksud dengan fungsi agama adalah peranan
agama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak
dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan
ketidakpastian.
Thomas F. O’Dea menuliskan enam fungsi agama, yaitu (1)
sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi, (2) sarana hubungan
transcendental melalui pemujaan dan pacara ibadat, (3) penguat norma-norma dan
nilai-nilai yang sudah ada, (4) pengkoreksi fungsi yang ada, (5) pemberi
identitas diri, dan (6) pendewasaan agama. Fungsi agama yang dijelaskan
hendrapuspito lebih ringkas lagi, tetapi intinya hampir sama. Menurutnya,
fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan social, memupuk
persaudaraan dan transformatif.
Agama dan Kehidupan
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan
terhadap keyakinan adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau supranatural yang
berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala
gejala alam. Kepercayaan beragama yang bertolak dari kekuatan ghaib ini tampak
aneh, tidak alamiah dan tidak rasional dalam pandangan individu dan masyarakat
modern yang terlalu dipengaruhi oleh pandangan bahwa sesuatu diyakini kalau
konkret, rasional, alamiah atau terbukti secara empiric dan ilmiah.
Ketergantungan masyarakat dan individu pada keuatan ghaib
ditemukan dari zaman purba sampai ke zaman moden ini, kepercayaan itu diyakini
kebenarannya sehingga ia menjadi kepercayaan keagamaan atau kepercayaan
religius. Kepercayaan terhadap sucinya sesuatu itu dinamakan dalam antropologi
dan sosiologi agama dengan mempercayai sifat sacral pada sesuatu itu,
mempercayai sesuatu sebagai yang suci atau sacral juga ciri khas kehidupan
beragama, adanya aturan kehidupan yang dipercayai berasal dari Tuhan juga
termasuk kehidupan beragama. Semuanya ini menunjukan bahwa kehidupan beragama
aneh tapi nyata, dan merupakan gejala universal, ditemukan di mana dan kapan
pun dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Beragama sebagai gejala universal masyarakat manusia juga
diakui oleh Begrson (1859-1941), pemikir prancis. Ia menulis bahwa kita
menemukan masyarakat manusia tanpa sains, seni dan filsafat, tetapi tidak
pernah ada masyarakat tanpa agama (El-Ehwani dalam sharif, 1963:556).
Di samping universal, kehidupan beragama di zaman modern ini
sudah demikian kompleks. Banyak macam agama yang dianut mamusia dewasa ini.
Aliran kepercayaan,aliran kebatinan, aliran pemujaan atau yang dikenal dalam
ilmu social dengan istilah occultisme juga banyak ditemukan di kalangan
masyarakat modern. Kehidupan beragama dewasa ini ada yang dijadikan tempat
penyejuk jiwa dan pelarian dari hiruk pikuk ekonomi dan social politik
sehari-hari, ada pula yang dijadikan sumber motivasi untuk mencapai kehidupan
ekonomi dan social politik, di samping itu kehidupan beragama punya pengaruh
terhadap aspek kehidupan yang lain. Anne Marie Malefijt mengungkapkan bahwa
agama adalah tipe the most important aspects of culture yang dipelajari oleh
ahli antropologi dan ilmuwan social lainnya. Aspek kehidupan beragama tidak
hanya ditemukan dalam setiap masyarakat, tetapi juga berinteraksi secara
signifikan dengan instutusi budaya yang lain. Ekspresi religius ditemukan dalam
budaya material, perilaku manusia,nilai, moral,system keluarga, ekonomi, hukum,
politik, pengobatan,sains, teknologi,seni, pemberontakan, perang, dll. Dari apa
yang dikemukakan oleh Malefitj adalah bahwa agama mewarnai dan membentuk suatu
budaya.
Agama atau minimal pendekatan keagamaan adalah cara yang
efektif dalam membentuk kepribadian dan kebudayaan, baik beragama sebagai
system social budaya atau sebagai subsistem yang universal sebagai tipe
penampilan serta penghayatannya dikalangan kelompok-kelompok masyarakat, dari
yang sekedar untuk mencapai kesejukan sampai kepada tidak merasa bersalah tidak
melakukan tindakan terror terhadap masyarakat yang tidak berdosa, menjadikannya
sangat penting dipahami oleh setiap individu dan lembaga yang berurusan dengan
masyarakat.
Terdapat perbedaan kehidupan beragama di kalangan masyarakat
primitive dan masyarakat modern. Dalam masyarakat primitive, kehidupan beragama
tidak dapat dipisahkan dari aspek kehidupan lain; beragama dan kegiatan
sehari-hari menyatu. Beragama merupakan sistam social budaya. Dalam masyarakat
modern, kehidupan beragama hanya salah satu aspek dari kehidupan beragama hanya
salah satu aspek dari kehidupan sehari-hari.
Geertz mengungkap betapa kompleks dan mendalamnya kehidupan
beragama. Agama tampak tumpang tindih dengan kebudayaan (Geertz 1992).Kemudian
kompleksitas dan luasnya ruang lingkup ajaran agama dapat dilihat dalam ajaran
islam. Sebagai agama wahyu yang terakhir, islam adalah ajaran yang komprehensif
dan terpadu, yaitu mencakup bidang ibadat, perkawinan, waris, ekonomi, politik,
hubungan internasional, dan seterusnya.
Namun dalam fenomena social budaya, dalam kehidupan umat
islam di zaman modern ini, kehidupan beragama menjadi menciut dalam aspek kecil
dan kehidupan sehari-hari, yaitu yang berhubungan dengan yang ghaib dan ritual
saja. Kehidupan beragama umat islam dewasa ini menjadi subsistem social
budayanya. Fenomena penciutan beragama ini karena pengaruh budaya modernism dan
sekularisme. Walaupun pengaruh modernism dan sekularisme demikian kuat, ia juga
menimbulkan gerakan dan aliran keagamaan dalam rangka melawan dominasi
modernism dan sekularisme tersebut, seperti aliran skripturalis dan gerakan
terror. Maraknya aliran kebatinan, occultism, aliran ekslusif lainnya
menjadikan fenomena kehidupan beragama makin kompleks. Semua ekslusivitas dan
kompleksitas kehidupan beragama ini menjadikannya menarik untuk diteliti secara
antropologis. Kajian antropologi terhadap berbagai aliran ekslusif juga akan
menjelaskan akar-akar budaya dari objek yang dikaji, secara mencoba memahami
gejala tesebut dalam konteks budaya yang bersangkutan.
Pengaruh Agama Terhadap Golongan Masyarakat
Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada
tiga aspek yang perlu dipelajari, yaitu kebudayaan, system social, dan
kepribadian ketiga aspek itu merupakan fenomena social yang prilaku manusia.
Maka timbul pertanyaan : sejauh mana fungsi lembaga agama dalam memelihara
sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan sebagai suatu system? Dan
sejauh mana fungsi agama dalam mempertahankan keseimbangan pribadi.
Berkaitan dengan hal ini, Nottingham menjelaskan secara umum
tentang hubungan agama dengan masyarakat yang menurutnya, terbagi tipe-tipe.
Tampaknya pembagian ini mengikutui konsep August Comte tentang proses tahapan
pembentukan masyarakat. Adapun tipe-tipe yang di maksud Nottingham itu adalah
sebagai berikut.
1. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sacral. Tipe
masyarakat ini kecil, terisolasi dan terbelakang. Anggota masyarakatnya
menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang relative berkembang
selain lembaga keluarga, agama menjadi focus utama bagi pengintegrasian dan
persatuan masyarakat dari masyatakat secara keseluruhan. Oleh karena itu,
kemungkinan agama memasukan pengaruh yang sacral ke dalam system nilai-nilai
masyarakat sangat mutlak.
2. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan
masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi
daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada system nilai
dalam tipe masyarakat ini. Tetapi, pada saat yang sama, lingkungan yang sacral
dan yang sekuler sedikit-banyak masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase
kehidupan social masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi
kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya
mendukung masalah adat-istiadat saja.Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat
menempatkan focus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan, dan
pembentukan citra pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama.Salah satu
akibatnya,anggota masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode empiris
yang berdasarkan penalaran dan efesiensi dalam menanggapi masalah- masalah
kemanusiaan sehingga lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas.
Peranan Pemimpin
Dalam Pembangunan
Tujuan pembangunan pada mulanya sederhana saja, yakni
memberantas kemiskinan dan menjembatani kesenjangan. Ketika dekade pembangunan
dicanangkan oleh perserikatan bangsa-bangsa (PBB), segera setelah perang dunia
kedua, masalah yang dihadapi saat itu adalah kehancuran ekonomi dan prasarana
dari Negara-negara yang kalah atau menjadi korban peperangan. Oleh karena
itu,perhatian ulama pembangunan ditekankan pada rehabilitasi dan rekonstruksi
sarana-sarana ekonomi.
Membahas peranan para pemimpin agama dalam kegiatan
pembangunan memang sangat menarik, bukan saja lantaran para pemimpin agama
merupakan salah satu komponen itu sendiri, melainkan juga pada umumnya
pembangunan diorientasikan pada upaya-upaya manusia yang bersifat utuh dan
serasi antara kemajuaan aspek lahiriah dan kepuasan aspek bathiniah. Corak
pembangunan seperti ini didasarkan pemikiran bahwa keberadaan manusia yang akan
dibangun, pada dasarnya, terdiri atas unsur jasmaniah dan unsur ruhaniah.
Kedua unsur ini tentu harus terisi dalam proses pembangunan.
Pentingnya keterlibatan para pemimpin agama dalam kegiatan
pembangunan ini adalah dalam aspek pembangunan unsur ruhaniahnya, para
pemimpin agama dalam kegiatan pembangunan tidak bersifat suplementer (pelengkap
penderita), tetapi benar-benar menjadi salah satu komponen inti dalam seluruh
proses pembangunan. Dalam pelaksanaanya, bahkan para pemimpin agama dapat
berperan lebih luas; bukan hanya terbatas pada pembangunan ruhani masyarakat,
tetapi juga dapat berperan sebagai motivator, pembimbing, dan pemberi landasan
etis dan moral, serta menjadi mediator dalam seluruh aspek kegiatan
pembangunan.
1. Pemimpin Agama Sebagai Motivator
Tidak dapat di sangkal bahwa peran para pemimpin agama
sebagai motivator pembangunan sudah banyak diakui dan terbukti di masyarakat.
Terlibatnya para pemimpin agama dalam kancah kegiatan
pembangunan ini, terutama di dorong oleh kesadaran untuk ikut secara aktif
memikirkan permasalahan-permasalahan duniawi yang sangat kompleks yang dihadapi
umat manusia.Begitu kompleksnya permasalahan yang dihadapi manusia di dunia ini
sampai pemerintahan sekuler tidak dapat lagi memecahkannya tanpa bantuan dari
pihak pemimpin agama, seperti pemberantasan kemiskinan, mengatasi kesenjangan,
mencegah kerusakan lingkungan, dan mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak
asasi manusia.Tentu para pemimpin agama tidak dapat diam berpangku tangan
dengan mengatakan bahwa agama tidak mengurusi permasalahan umat yang bersifat fisik,
Agama hanya mengurusi aspek spiritual dalam kehidupan manusia, pemikiran seperti
ini akan mengakibatkan agama-agama di dunia ini dijauhi oleh umat manusia.
Selain itu, para pemimpin agama juga diharapkan mampu
merangsang masyarakat agar berani melakukan perubahan-perubahan kehidupan ke
arah yang lebih maju dan sejahtera. Para pemimpin agama dapat memberikan
semangat kepada masyarakat untuk selalu giat berusaha, jangan sekali-kali untuk
bersifat fatalis. Para pemimpin agama sepantasnya memberikan wawasan kepada
masyarakat bahwa takdir hanyalah batas akhir dari upaya manusia dalam meraih
prestasi.Dengan demikian para pemimpin agama telah mampu membuktikan
kemampuannya untuk berbicara secara rasional dan tetap membangkitkan gairah
serta aksi masyarakat dalam meraih sesuatu yang dicita-citakannya.
2. Pemimpin Agama Sebagai Pembimbing Moral
Peran kedua yang dimainkan para pemimpin agama di masyarakat
dalam kaitannya dengan kegiatan pembangunan adalah peran yang berkaitan dengan
upaya-upaya menanamkan prinsip-prinsip etik dan moral masyarakat. Dalam
kaitannya, kegiatan pembangunan umumnya selalu menuntut peran aktif para
pemimpin agama dalam meletakkan landasan moral, etis, dan spiritual serta
peningkatan pengalaman agama, baik dalam kehiduan pribadi maupun sosial.
Berangkat dari landasan etis dan moral inilah, kegiatan
pembangunan lalu diarahkan pada upaya pemulihan harkat dan martabat manusia,
harga diri dan kehormatan individu, serta pengakuan atas kedaulatan seseorang
atau kelompok untuk mengembangkan diri sesuai dengan keyakinan dan jati diri
serta bisikan nuraninya. Di sinilah kemudian nilai-nilai religius yang
ditanamkan para pemimpin agama memainkan peranan penting dalam kegiatan
pembangunan.
Tuntutan dan patokan yang tertuang dalam kitab suci, teladan
para nabi, dan hukum-hukum agama yang merupakan elaborasi dari sabda Tuhan
menurut hasil pemikiran para pemuka, pemimpin dan pemikir agama pada masa lalu,
mereka jadikan bahan untuk membimbing arah kegiatan pembangunan secara
menyeluruh.
3. Pemimpin Agama Sebagai Mediator
Peran lain para pemimpin agama yang tidak kalah pentingnya,
juga dalam kaitannya dengan kegiatan pembangunan di masyarakat adalah sebagai
wakil masyarakat dan sebagai pengantar dalam menjalin kerja sama yang harmonis
di antara banyak pihak dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingannya di
masyarakat dan lembaga-lembaga keagamaan yang dipimpinnya.
Untuk membela kepentingan-kepentingan ini, para pemimpin
agama biasanya memposisikan diri sebagai mediator di antara beberapa pihak di
masyarakat, seperti antara masyarakat dengan elite pengusaha dan antara
masyarakat miskin dengan kelompok orang-orang kaya. Melalui pemimpin agama,
para elite pengusaha dapat memahami apa yang diinginkan masyarakat miskin, dan
sebaliknya elite pengusaha dapat mensosialisasikan program-programnya kepada
masyarakat luas melalui bantuan para pemimpin agama.
Munculnya kerja sama antara para pemimpin agama di satu
pihak dengan kalangan kaya dan penguasa di pihak lain merupakan fenomena sosial
yang umum terjadi di kalangan umat beragama. Dari sudut formal keagamaan, kerja
sama para pemimpin keagamaan dengan kalangan hartawan dan penguasa ini
memang tidak dapat apa-apa. Sebab, sesunggguhnya kerja sama para pemimpin agama
dengan kalangan kaya dan penguasa, pada prinsipnya, tidak bisa di nilai buruk.
Agama bagaimanapun, merupakan rahmat bagi segenap manusia, tak peduli miskin
atau kaya, penguasa atau rakyat jelata,di sinilah pemimpin agama menyadari
bahwa kerjasama mereka tidak lain adalah untuk kepentingan menegakkan keadilan
social dan untuk membeli kepentingan orang-orang kecil.
SUMBER :
DAFTAR PUSTAKA
1. Agus, Bustanuddin, Agama dalam Kehidupan Masyarakat, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
2. Scharf, R, Betty, Sosilogi Agama, Fajar Interpratama
Offset, Jakarta, 2004.
3. Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar